Gunungan itu dipakai juga sebagai tanda akan mengganti cerita. yaitu dengan cara dicacakkan di tengah-tengah. Selain itu gunungan juga dipakai sebagai perumpamaan angin, yaitu ketika digerakkan dengan gerakan cepat. Selain itu, gunungan juga diumpamakan sebagai api, yaitu digerakkan juga seperti angin, akan tetapi gunungan tersebut dibalik, dibalik gunungan tersebut hanya berwarna merah, di sini merupakan perumpamaan api, tetapi warna tersebut hanya dapat dilihat dari depan kelir.
Selain sebagai api, juga sebagai perumpamaan hutan rimba, yaitu ketika dimainkan pada waktu perampogan (semua kumpulan wayang dari tentara segala persenjataan dan segala macam persenjataan prajurit).
Dalam adegan ini perampogan diucapkan oleh dalang diibaratkan percakapan seseorang dengan orang lain. Percakapan prajurit tersebut mengenai jalan yang rusak, tidak rata, selain itu jalan tersebut penuh pepohonan serta penuh dengan semak belukar. Maka ditempuhlah jalan tersebut dengan menebang pohon-pohon kayu dan tempat itu didijadikan sebagai jalan lewat perajurit. Gunuganlah yang ditempuh oleh perampogan yang diibaratkan hutan itu. Setelah lakon dimainkan, gunungan dicacakkan kembali di tengah kelir, menandakan bahwa cerita telah tamat.
Tanda gunungan sebagai pengganti cerita atau babakan, setelah gunungan dicacakkan ditengah, kemudian dalang bercerita dengan singkat, lakon cerita yang baru saja diceritakan, kemudian disambung dengan lakon cerita atau babakan yang akan dimulai. Dengan cara tersebut diharapkan penonton terhibur dan terbuai dalam lakon cerita yang dibawakan oleh dalang.
Sumber Pustaka : Sebuah Kumpulan "PUSPA SARI" yang disusun F.X. Koesno 1981
0 komentar:
Posting Komentar